Kraton Yogyakarta | Sejarah | Raja - Raja


RAJA - RAJA MATARAM


1755-1792
Sri Sultan Hamengku Buwono I



Lahir : 6 Agustus 1717, Kartasura, Sukoharjo
Meninggal : 24 Maret 1792, Yogyakarta
Kebangsaan : Mataram
Dimakamkan : Imogiri, Bantul
Orang Tua : Amangkurat IV
Anak : Hamengkubuwana II, Paku Alam I

Dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi, pendiri dan pembangun Keraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 6 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono. Pangeran Mangkubumi merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui garwa selir yang bernama Mas Ayu Tejawati. Kelak, sebagai peletak dasar budaya Mataram, beliau akan memberi warna dan ruh tidak hanya bagi lingkungan keraton tetapi seluruh masyarakat Yogyakarta.

Sedari kecil, BRM Sujono dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan. Beliau mahir berkuda dan bermain senjata. Selain itu, beliau juga dikenal sangat taat beribadah sembari tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Budaya Jawa.

Berkat kecakapan itulah, ketika paman beliau yang bernama Mangkubumi meninggal pada tanggal 27 November 1730, beliau lalu diangkat menjadi Pangeran Lurah. Yaitu pangeran yang dituakan di antara para putera raja. Kelak, ketika sudah dewasa, beliau juga menyandang nama yang sama dengan pamannya. BRM Sujono kemudian lebih dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi.

Mengenai ketaatan beribadah Pangeran Mangkubumi secara rinci dikisahkan dalam Serat Cebolek. Disitu digambarkan mengenai kebiasaan beliau puasa Senin-Kamis, sholat lima waktu dan juga mengaji Al Quran. Dalam serat ini pula dikisahkan bahwa beliau gemar mengembara dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat, serta memberikan pertolongan kepada yang lemah.

Sifat beliau ini menghasilkan kesetiaan yang mendalam di antara para pengikutnya. Pada tahun 1746, ketika mengangkat senjata melawan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Pangeran Mangkubumi memiliki pengikut sebanyak 3000 prajurit. Pada tahun 1747 jumlahnya meningkat pesat menjadi 13000 prajurit, dimana diantaranya terdapat 2500 prajurit berkuda. Kesetiaan dan kesediaan mengikuti beliau ini kemudian meluas hingga ke masyarakat umum pada tahun 1750.

Perjuangan atas Bumi Mataram
Era tahun 1740 adalah masa-masa berat bagi bumi Mataram. Pemberontakan merajalela, dimulai dengan Geger Pacina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu Pangeran Sambernyawa, hingga gerakan-gerakan sporadis yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa sendiri pada hari-hari selanjutnya. Akibatnya keraton harus berpindah dari Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Februari 1745.

Untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu -Susuhunan Paku Buwono II mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan pesisir utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram. Akan tetapi, akibat penghianatan dan kecurangan yang dilakukan oleh Patih Pringgoloyo yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi menemui jalan buntu.

Atas dasar peristiwa tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan untuk keluar dari lingkup istana dan memulai serangan terbuka terhadap VOC. Keputusan tersebut menuai dukungan dari Pangeran Sambernyawa. Bersama Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkeraman VOC.

Di sisi lain, pada akhir tahun 1749, kondisi kesehatan Paku Buwono II semakin menurun. Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram seluruhnya kepada VOC pada tanggal 16 Desember 1749. Hanya berselang hari, Paku Buwono II wafat dan kemudian digantikan oleh puteranya Paku Buwono III. Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur. Akibatnya, garis depan VOC terdesak dan pasukannya banyak yang tewas. Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.

Kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan Gubernur Jawa Utara, Baron van Hohendroff, mengundurkan diri. Selain itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas kekalahan tersebut. Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Berikutnya, tampuk kepimpinan Gubernur Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.

Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalahnya. Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa didapat dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian. Sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri maka Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal dengan Tuan Sarip Besar, untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.

Pada tanggal 23 September 1754, pertemuan antara Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil. Kesepakatan yang diperoleh merupakan rancangan awal perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Palihan Nagari. Hasil kesepakatan ini disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III. Kata sepakat dari Paku Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti. Puncaknya pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh pihak-pihak terkait.

Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta dimulai. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ) Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat
Dalam Babad Nitik Ngayogya, digambarkan mengenai kebijaksanaan dan kearifan Sultan Hamengku Buwono I. Juga disebutkan mengenai kecerdasan beliau terkait ilmu tata kota dan arsitektur. Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta, menurut catatan itu, beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar berpotensi menyejahterakan dan memberi keamanan untuk penduduk Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi yang sangat strategis. Terdapat batas-batas alam berupa Kali Code di sebelah timur dan Kali Winongo di sebelah barat. Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Merapi, sementara di selatan berbatasan dengan pantai Laut Selatan. Arsitektural Keraton Yogyakarta sendiri sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta. Tidak hanya tata ruang dan bangunannya, semua hiasan bahkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di kompleks keraton dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis, dan spiritual yang tinggi. Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono juga membangun kompleks istana air Taman Sari. Atas hasil karya serta karakter kuat Sri Sultan Hamengku Buwono I, sejarawan menjuluki beliau sebagai “a great builder”, sejajar dengan Sultan Agung.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi Yogyakarta begitu besar. Beliau mencetuskan konsep Watak Satriya seperti: Nyawiji (konsentrasi total), greget (semangat jiwa), sengguh (percaya diri) dan ora mingguh (penuh tanggung jawab). Konsep-konsep luhur ini menjadi credo atau prinsip bagi Prajurit Keraton, Abdi Dalem, dan juga gerak tari yang disebut Joged Mataram. Sri Sultan Hamengku Buwono I juga mengajarkan falsafah golong gilig manunggaling kawula Gusti (hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan antara umat dengan Tuhan) serta Hamemayu Hayuning Bawono (menjaga kelestarian alam). Semuanya menjadi nilai-nilai utama yang menjadi pedoman karakter tidak hanya bagi keraton tetapi juga masyarakat Yogyakarta.

Dalam bidang seni, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I diantaranya adalah: Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, dan seni Wayang Purwo. Gendhing kehormatan raja “Raja Manggala” dan “Tedhak Saking” juga diciptakan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tanggal 24 Maret 1792 (1 Ruwah 1718 TJ), dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri. Kelak, pada tanggal 3 November 2006, sebuah negara non kerajaan yang proses kelahirannya sangat lekat dengan keturunan beliau akan menganugerahi Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai Pahlawan Nasional atas jasa-jasa dalam memperjuangkan jati diri bangsa



1792-1828
Sri Sultan Hamengku Buwono II


Lahir di lereng Gunung Sindoro pada tanggal 7 Maret 1750 dari permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono I, ia diberi nama kecil Raden Mas (RM) Sundoro. Masa kecilnya dilalui bersama ibunda, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kadipaten, di wilayah pengungsian akibat perang melawan VOC. Situasi tersebut kelak membentuk karakter yang keras pada diri Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Ketika tiba masa perjanjian Giyanti, dan berlanjut ke perpindahan keluarga besar Sri Sultan Hamengku Buwono I ke Keraton Yogyakarta, RM. Sundoro mulai tinggal di dalam keraton dengan status putera raja. Semenjak itu pula kecintaan dan kepercayaan Sri Sultan Hamengku Buwono I kepada RM. Sundoro meningkat. Pada tahun 1758, ketika RM. Sundoro dikhitan, beliau diangkat menjadi putra mahkota.

Sesungguhnya melalui permaisuri yang pertama, GKR. Kencono, Sri Sultan Hamengku Buwono I telah menetapkan putera mahkota bahkan sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. Raden Mas Ento, demikian nama putera mahkota tersebut. Pujangga keraton menuliskan bahwa sepulang dari perjalanan ke Borobudur, Raden Mas Ento jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Oleh karena itu, status putra mahkota kemudian disematkan kepada RM. Sundoro.

Ketika RM. Sundoro beranjak dewasa, Sri Sultan Hamengku Buwono I berniat menjodohkannya dengan puteri keraton Kasunanan Surakarta. Melalui pernikahan tersebut, Sultan Hamengku Buwono I sebenarnya masih menyimpan keinginan untuk menyatukan Dinasti Mataram yang telah terpecah. Tercatat RM. Sundoro berkunjung ke Surakarta pada tahun 1763 dan 1765. Upaya perjodohan ini gagal. Puteri Paku Buwono III akhirnya menikah dengan putera Adipati Mangkunegoro I. Lambat laun, perkembangan masing-masing Keraton dan Kadipaten menunjukkan situasi yang semakin permanen. Dinasti Mataram semakin sulit untuk disatukan kembali.

Pada masa muda RM. Sundoro, hubungan Keraton Yogyakarta dengan Surakarta mengalami ketegangan. Faktor pemicunya adalah batas wilayah yang tidak jelas di antara dua kerajaan tersebut. Jalan damai yang diupayakan melalui jalur pernikahan antara dua kerajaan tidak membuahkan hasil. Hingga pada tanggal 26 April 1774, disusun perjanjian Semarang atas prakarsa Gubernur VOC Van de Burgh. Perjanjian ini memberi batasan tegas pembagian wilayah sebagai upaya mencegah konflik terulang kembali.

RM. Sundoro dewasa melihat, baik dari Perjanjian Giyanti maupun Perjanjian Semarang, membuat kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit. Kedua perjanjian itu lebih menguntungkan VOC karena wilayah kekuasannya justru mengalami perluasan. Tekanan dari VOC juga semakin mencolok baik ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I maupun Sunan Paku Buwono III mulai menunjukkan gejala kemerosotan kesehatan.

Semenjak itu pula kebencian RM. Sundoro kepada VOC khususnya dan orang asing pada umumnya semakin membesar. Akan tetapi, kenyataan ini justru membuat Sri Sultan Hamengku Buwono I semakin sayang dan menaruh harapan besar agar RM. Sundoro mampu mempertahankan dan melindungi Yogyakarta dari rongrongan bangsa asing. Hal ini diwujudkan dengan membuat perayaan atas penetapkan RM. Sundoro sebagai calon pewaris tahta pada tahun 1785. Peristiwa ini menurut beberapa sejarawan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk mengabadikan pergantian abad Tahun Jawa (1700) yang biasanya ditandai dengan peristiwa penting di bumi Jawa.

Dengan status sebagai calon pewaris sah tersebut, RM Sundoro mulai melakukan gerakan-gerakan perubahan di dalam keraton dan berupaya melindungi Keraton Yogyakarta terhadap ancaman VOC. Beliau berupaya menggagalkan pembangunan Benteng Rustenburg inisiatif Komisaris Nicholas Hartingh sejak tahun 1765 dengan cara mengerahkan pekerja dari keraton untuk membangun tembok baluwarti mengelilingi alun-alun utara dan selatan. Tak lupa, untuk meningkatkan pertahanan, sebanyak 13 meriam ditempatkan di bagian depan keraton menghadap ke arah benteng Belanda tersebut.

Sikap anti Belanda ini semakin mewujud setelah penobatannya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792. Beliau menolak tegas permintaan wakil VOC yang menuntut disejajarkan posisi duduknya di setiap acara pertemuan dengan sultan. Selain itu, tanpa melibatkan VOC, Sri Sultan Hamengku Buwono II menunjuk sendiri patihnya untuk menggantikan Danurejo I yang meninggal dunia pada Agustus 1799.

Terjadi banyak peristiwa penting pada periode awal abad ke-19. Sebagai sebuah perusahaan dagang, VOC bangkrut dan oleh karena itu dibubarkan. Pada saat yang hampir bersamaan Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Napoleon dari Perancis. Bekas wilayah yang dikuasai VOC kemudian dikendalikan di bawah pemerintah kolonial. Menandai perubahan tersebut, pada tanggal 14 Januari 1808, Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah kendali Perancis, menggantikan posisi pimpinan sebelumnya yang dipegang oleh Albertus Henricus Wiese.

Daendels membuat perubahan mendasar yang menjadikan seluruh kerajaan di bekas jajahan VOC sebagai bawahan dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, ia mengharuskan Raja Jawa tunduk kepada Raja Belanda. Daendels juga mengeluarkan aturan bahwa hak pengelolaan hutan harus berada di bawah pemerintah kolonial.

Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan tegas menolak semua tatanan baru tersebut. Hingga di kemudian hari, Daendels sendiri datang ke Yogyakarta membawa 3300 pasukan untuk menekan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Akibat dari tekanan tersebut, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta dan digantikan oleh putra mahkotanya RM. Surojo sebagai Hamengku Buwono III pada tanggal 31 Desember 1810.

Hamengku Buwono III diharuskan menandatangani kontrak dengan Belanda dengan syarat-syarat yang memberatkan. Namun perjanjian yang ditandatangani pada Januari 1811 ini tidak sempat dilaksanakan karena keburu Inggris datang dan memukul mundur Belanda. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk mengambil kembali tahtanya. Beliau menurunkan status Hamengku Buwono III kembali ke posisi sebelumnya dan mengeksekusi Patih Danurejo II yang didapati terbukti bersekongkol dengan Daendels.

Sifat keras Sri Sultan Hamengku Buwono II lagi-lagi menempatkan beliau berhadap-hadapan dengan bangsa asing. Di bawah pimpinan Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles, Keraton Yogyakarta diserang oleh prajurit Sepoy asal India pada tanggal 20 Juni 1812. Akibat gempuran tersebut, keraton diduduki, harta benda termasuk ribuan karya sastra Jawa dijarah, Sri Sultan Hamengku Buwono II ditangkap dan kemudian diasingkan ke Pulau Pinang hingga tahun 1815.

Kembalinya Sri Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan ke Pulau Jawa pada tahun 1815 tidaklah lama. Setelah penyerahan kembali jajahan Belanda oleh Inggris pada tanggal 9 Agustus 1816, Belanda segera membahas posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang dianggap sebagai ancaman besar. Maka pada tangal 10 Januari 1817 Sri Sultan Hamengku Buwono II dibuang ke Ambon.

Sementara, selama kurun waktu tersebut berlangsung, di Yogyakarta sedang dilanda kondisi tidak menentu. Sri Sultan Hamengku Buwono III meninggal, kemudian digantikan oleh putranya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Tidak bertahta cukup lama, Sri Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dan kemudian digantikan oleh putranya yang masih belia sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono V. Saat itulah kemudian menyusul perlawanan terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Kolonial Belanda, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang kemudian disebut sebagai Sultan Sepuh, dipahami oleh Belanda bahwa selain menjadi ancaman juga bisa menjadi penengah karena didengarkan oleh semua kalangan bangsawan istana. Maka diputuskan untuk memulangkan kembali Sri Sultan Hamengku Buwono II ke Yogyakarta, dan mengangkat kembali sebagai sultan untuk yang ketiga kalinya pada tanggal 20 September 1826.

Pada periode kepemimpinannya yang ketiga ini, usia senja membuat kesehatan Sri Sultan Hamengku Buwono II menurun drastis. Pada tanggal 3 Januari 1828 (15 Jumadilakir 1755), Sri Sultan Hamengku Buwono II mangkat karena sakit. Beliau dimakamkan di Kotagede karena pada saat itu sedang berkecamuk Perang Jawa sehingga tidak memungkinkan untuk diadakan prosesi hingga Makam Raja-Raja di Imogiri.

Peninggalan Sri Sultan HB II
Sebagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I, Sri Sultan Hamengku Buwono II juga meninggalkan karya-karya monumental. Mulai dari membentuk korps/satuan keprajuritan yang dilengkapi dengan perlengkapan dan persenjataan yang lebih baik, hingga membangun benteng baluwarti yang dilengkapi meriam untuk melindungi keraton dari serangan luar.  

Di bidang sastra beliau mewariskan karya-karya heroik yang berbau pertahanan dan militer, seperti: Babad Nitik Ngayogya dan Babad Mangkubumi. Dua karya babad ini menceritakan perjuangan berdirinya Keraton Yogyakarta. Juga karya sastra yang bersifat fiksi, lahir berkat beliau, di antaranya Serat Baron Sekender dan Serat Suryaraja. Yang terakhir merupakan karya pustaka yang dijadikan pusaka bagi Keraton Yogyakarta.

Selain itu, beliau juga memerintahkan untuk membuat berbagai bentuk wayang kulit dengan watak perang dan menggubah wayang orang dengan lakon Jayapusaka. Tokoh utama dalam lakon tersebut adalah Bima yang begitu tepat menggambarkan watak jujur, keras dan juga tegas dari Sri Sultan Hamengku Buwono II.


1810 - 1814
Sri Sultan Hamengku Buwono III


Beliau memiliki nama kecil Raden Mas (RM) Surojo, lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton. Dalam biografi Tan Jin Sing disebutkan bahwa beliau adalah orang yang pendiam dan cenderung mengalah.

Pada usianya yang ke 41, tepatnya Bulan Desember 1810, terjadi manuver pasukan Belanda ke Keraton Yogyakarta sebagai buntut perseteruan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Letnan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Akibat dari perseteruan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan dari jabatannya oleh pemerintah kolonial Belanda.

Saat itulah kemudian RM. Surojo diangkat sebagai Hamengku Buwono III dengan pangkat regent atau wakil Raja. Sementara itu, Sri Sultan Hemengku Buwono II masih tetap diijinkan untuk tinggal di dalam keraton dengan sebutan Sultan Sepuh.

Nyaris setahun kemudian, tepatnya 28 Desember 1811, ketika tentara Inggris berhasil mengalahkan bala tentara Belanda dan merebut tanah Jawa, beliau dilengserkan dari statusnya dan kembali menjadi putra mahkota. Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali naik tahta.

Bertindak sebagai mediator antara Sri Sultan HB II dengan Inggris adalah Pangeran Notokusomo, adik Sultan Hamengku Buwono II lain Ibu. Di kemudian hari Pangeran Notokusumo menjadi sahabat bagi Letnan Gubernur Jenderal Inggris karena pemahamannya yang tinggi atas sastra dan kebudayaan Jawa.

Pada awalnya Letnan Gubernur Jenderal Inggris mengakui Sri Sultan Hamengku Buwono II sebagai penguasa sah Kasultanan Yogyakarta, dan mengangkat RM. Surojo sebagai Adipati Anom. Namun hal ini hanya berselang kurang dari setahun karena sikap keras Sri Sultan Hamengku Buwono II menjadikan Raffles mencabut dukungannya. Pada tanggal 21 Juni 1812, Sri Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan, dan Adipati Anom disahkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono III untuk yang kedua kali.

Pada saat bersamaan dengan pengangkatan Adipati Anom sebagai Hamengku Buwono III, putra sulungnya dari garwa selir RM. Antawirya diberi gelar Bendara Pangeran Ario Diponegoro. Alih-alih turut campur dalam urusan istana, Pangeran Diponegoro memilih untuk tinggal bersama neneknya di desa Tegalrejo (barat laut Keraton Yogyakarta) untuk mendalami ilmu agama. Sama-sama memiliki sifat yang keras dan tidak mau tunduk kepada bangsa asing seperti kakeknya -Sri Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Diponegoro sendiri nantinya mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda yang dicatat dalam sejarah pemerintah kolonial sebagai perang yang paling menguras energi dan biaya.

Sejak kedatangan Inggris, peta geopolitik Kasultanan Yogyakarta berubah drastis. Yogyakarta harus melepaskan Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan untuk dikuasai Inggris dengan ganti rugi sebesar 100.000 real per tahun. Pada masa ini pula, Sultan harus menyerahkan 4000 cacah wilayah Adikarto (Kulonprogro) kepada Pangeran Notokusumo yang kemudian menjadi pangeran merdika (otonom) di dalam Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I (1813-1829). Selain itu, Sultan juga harus menyerahkan 1000 cacah lagi wilayahnya kepada Kapiten Cina Tan Jin Sing atas bantuan yang diberikan selama Sri Sultan Hamengku Buwono III masih berkedudukan sebagai putera mahkota. Kelak Sri Sultan Hamengku Buwono III mengangkat Tan Jin Sing menjadi Bupati Yogyakarta dan memberinya gelar KRT Secadiningrat.

Perubahan penting lainnya yang terjadi akibat campur tangan Inggris pada kurun waktu ini adalah terkait prajurit keraton. Inggris melarang para raja memiliki kekuatan militer apapun selain yang diijinkan oleh pemerintah kolonial. Sebagai gantinya, pasukan Inggris dan Sepoy menjadi resimen utama pengamanan istana. Akibatnya sebanyak lebih dari 9000 prajurit keraton, termasuk yang dari Bugis dan Bali, hidup menderita. Banyak diantara mereka yang kemudian dimobilisasi oleh Inggris untuk bekerja di perkebunan-perkebunan milik kolonial di luar Jawa.

Pada tanggal 3 November 1814 (19 Dulkangidah 1741), Sri Sultan Hamengku Buwono III wafat pada usia 45 tahun. Beliau dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan, Imogiri. Masa pemerintahannya tercatat hanya berlangsung selama 865 hari. Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, anak bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono III dari GKR Kencono (Ratu Ibu, pasca 1816; Ratu Hageng, pasca 1820), yang telah diangkat sebagai putra mahkota menjadi penerus ayahnya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada usia 10 tahun.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono III
Kampung Ketandan, di dekat Jalan Malioboro, yang kini ramai sebagai pusat niaga serta budaya Tionghoa di Yogyakarta dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono III. Awalnya kampung tersebut merupakan tempat para pekerja pemungut pajak yang digeluti oleh pendatang dari Cina. Di sini terdapat sebuah bangunan berloteng yang diperuntukkan bagi penasehat pribadi Sultan, Tan Jin Sing, seorang kapitan Cina dari Kedu yang mahir berbagai bahasa.

Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono III juga mendatangkan sebuah kereta kuda dari Inggris yang dikabarkan konstruksinya tahan peluru. Kereta itu diberi nama Kyai Mondro Juwolo. Meskipun singkat, masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III pada saat itu merupakan kurun dimana rakyat Yogyakarta menikmati suasana yang lebih aman dan makmur.


1814 – 1822
Sri Sultan Hamengku Buwono IV



Lahir pada tanggal 3 April 1804 dengan nama kecil Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, beliau ditunjuk menjadi putera mahkota saat penobatan ayahnya sebagai sultan pada tanggal 21 Juni 1812. Tidak lama berselang, putra Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hageng ini naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada tanggal 9 November 1814 ketika usianya masih 10 tahun.

Karena usianya yang masih belia, maka pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV didampingi oleh wali raja. Salah satu wali raja yang ditunjuk saat itu adalah Pangeran Notokusumo yang telah bergelar Paku Alam I. Kedudukannya sebagai wali ditentukan hingga sultan mencapai akil baligh di usia 16 tahun pada 1820. Walaupun demikian, menjelang penyerahan kekuasaan Inggris ke Belanda pada tahun 1816, Ibunda Sultan –kemudian disebut Ratu Ibu, dan Patih Danurejo IV lah yang menjalankan wewenang sebagai wali sultan sehari-hari.

Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan adiknya, Sri Sultan Hamengku Buwono IV, digambarkan seperti Kresna yang mengajari Arjuna. Ketika sang raja dikhitan pada tanggal 22 Maret 1815, Pangeran Diponegoro sendiri yang menutupi mata adiknya dengan kedua belah tangannya. Kemudian, dalam Kitab Kedung Kebo dan Babad Ngayogyakarta disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro sangat memperhatikan pendidikan sang raja. Tidak jarang, dari Tegalrejo Pangeran Diponegoro menemui sultan belia untuk menceritakan kisah-kisah budi pekerti dari kitab Fatah Al-Mulk dan Raja-Raja khayali Arab maupun Syiria. Sang pangeran juga sering membacakan naskah-naskah penting seperti Serat Ambiya, Tajus Salatin, Hikayat Makutha Raja, Serat Menak, Babad Keraton, Arjuna Sasrabahu, Serat Bratayudha, dan Rama Badra. Untuk mendukung pendidikan sang raja kecil ini, Ratu Ibu juga menunjuk Kyai Ahmad Ngusman – kepala pasukan Suronatan dan Letnan Abbas –perwira Sepoy untuk mengajar baca Al Quran dan baca tulis Melayu.

Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan keraton mulai renggang ketika Patih Danurejo IV semakin menancapkan pengaruhnya di Kasultanan. Patih Danurejo IV mendukung sistem sewa tanah untuk swasta, praktek yang mengakibatkan kesengsaraan bagi penduduk kasultanan. Belum pernah sebelumnya pengusaha-pengusaha Eropa menjalankan usaha perkebunan yang besar seperti kopi dan nila hingga pada masa tersebut. Selain itu, Patih Danurejo IV juga menempatkan saudara-saudaranya di posisi-posisi strategis. Puncaknya ketegangan antara Pangeran Diponegoro dengan Patih Danurejo IV terjadi tatkala Garebeg Sawal pada tanggal 12 Juli 1820. Di hadapan Sultan yang sudah mulai berkuasa secara mandiri itu, Pangeran Diponegoro mencela Patih Danurejo IV yang telah menyewakan tanah kerajaan di Rejowinangun.

Hanya berselang dua tahun sejak menjalankan pemerintahan secara mandiri, Sri Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dunia. Di hari beliau wafat, 6 Desember 1823 (22 Rabingulawal 1750), Sri Sultan Hamengku Buwono IV masih berusia 19 tahun. Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa beliau meninggal dunia setelah kembali dari kunjungan ke pesanggrahannya. Maka kemudian nama beliau dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar. Sri Sultan Hamengku Buwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri.

Dari pernikahannya dengan sembilan orang istri, Sri Sultan Hamengku Buwono IV mendapat 18 orang anak. Namun hampir sepertiga dari anak-anaknya meninggal ketika masih kecil. Yang menjadi penerus kemudian adalah puteranya dari permaisuri GKR Kencono, Gusti Raden Mas Gatot Menol, yang masih berusia 3 tahun.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono IV
Masa pemerintahan mandiri beliau yang hanya berjalan selama dua tahun membuat segala kebijakan lebih banyak dikendalikan oleh Ratu Ibu, Patih Danurejo dan Belanda. Oleh karena itu bisa dimaklumi jika tidak ada karya sastra besar maupun seni yang dihasilkan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IV.

Namun demikian, terdapat dua buah kereta yang saat ini ada di Museum Kereta Keraton Yogyakarta, yaitu Kyai Manik Retno dan Kyai Jolodoro yang merupakan peninggalan Sultan HB IV. Dua buah kereta kecil tersebut dirancang untuk kebutuhan pesiar yang sering dilakukan oleh Sri Sultan.


1823 – 1855
Sri Sultan Hamengku Buwono V



Lahir pada tanggal 20 Januari 1821, putera Sri Sultan Hamengku Buwono IV dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono ini diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Gatot Menol. Tahun 1823, ketika ayahandanya wafat, beliau diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono V ketika baru menginjak usia 3 tahun. Tumbuh besar dengan perlakuan khusus antara perasaan iba dan tanggung jawab yang besar seperti itulah yang membentuk karakter beliau menjadi orang yang lemah lembut dan sebisa mungkin menghindari kekerasan.

Dikarenakan usia sultan yang masih sangat belia, maka dibentuk dewan perwalian untuk mendampingi tugas-tugas pemerintahan. Anggota dewan perwalian terdiri atas Ratu Ageng (nenek Sultan, yang juga permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono III), Ratu Kencono (ibu Sultan, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono IV), Pangeran Mangkubumi (putra Sri Sultan Hamengku Buwono II) dan Pangeran Diponegoro. Para wali itu hanya mempunyai wewenang mengawasi keuangan keraton, sedangkan pelaksanaan pemerintahan keraton berada di tangan Patih Danurejo III, di bawah pengawasan residen Belanda. Sama halnya dengan ayah beliau yang didampingi oleh dewan perwalian, Sri Sultan Hamengku Buwono V memegang kendali pemerintahan secara penuh pada tahun 1836 ketika usianya menginjak 16 tahun. Masa kepemimpinannya sempat digantikan sementara oleh kakek buyutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono II pada tahun 1826-1828.

Sejarah mencatat bahwa Perang Jawa -peperangan terbesar yang dialami oleh pemerintah kolonial akibat perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, terjadi pada era kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono V. Banyak hal yang mengusik sang pangeran termasuk semakin banyak tanah-tanah keraton yang disewakan kepada orang Eropa, tingginya pajak yang ditarik dari masyarakat, munculnya wabah kolera, dan kondisi gagal panen yang dipandang sangat menyengsarakan. Ditambah sikap pegawai-pegawai Belanda banyak yang melecehkan keraton dengan memasukkan adat istiadat dan gaya hidup Eropa. Disebut ‘Perang Jawa’ karena Pangeran Diponegoro berhasil mengobarkan perlawanan yang menggerakkan hampir seluruh penduduk berbahasa jawa di Pulau Jawa bagian tengah dan selatan. Semakin besarnya kekuatan Diponegoro didukung pula oleh kelompok Islam yang terdiri atas para santri yang mengabdi di keraton (Suronatan, Suryagama), para pelajar dari pesantren-pesantren di wilayah perdikan serta kelompok lain yang dibawa oleh Kyai Mojo yang menjadi sekutu pangeran.

Perang Jawa telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Belanda. Selama dua tahun pertama perang, 6.000 pasukan infanteri serta 1.200 pasukan artileri dan kavaleri dikerahkan. Bahkan pada tahun 1826 sekitar 2.400 pasukan bantuan datang dari Belanda. Namun pasukan tersebut tidak bisa langsung diterjunkan ke medan pertempuran karena kurangnya pengetahuan tentang lapangan dan tantangan iklim. Hingga akhirnya, pada tahun 1827 pemerintah kolonial dibawah pimpinan Jenderal De Kock berhasil mengurung tentara sang pangeran di wilayah pegunungan sempit antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto di Kabupaten-Kabupaten Kulon Progo, Kedu Selatan dan Bagelen Timur. Pasukan Pangeran Diponegoro yang jumlahnya sudah menyusut banyak semakin terkucil dan dapat dikalahkan.

Pada Hari Minggu tanggal 28 Maret 1830, De Kock dengan segala cara berhasil menangkap Pangeran Diponegoro di Wisma Residen Kedu. Selanjutnya, Pangeran Diponegoro bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang, kemudian dibawa Batavia untuk diasingkan di Manado dan berakhir di Makassar hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855.

Dengan berakhirnya Perang Diponegoro, maka berangsur-angsur situasi yang lebih stabil terjadi di Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono V kemudian lebih mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini dilakukan sebagai taktik perang pasif, yakni melakukan perlawanan tanpa pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengku Buwono V mengharapkan dengan dekatnya Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara. Selama masa damai di bawah kepemimpinannya pula, Sri Sultan Hamengku Buwono V kemudian lebih mencurahkan perhatiannya ke dalam pengembangan seni dan sastra. Banyak karya sastra dan keris pusaka keraton dibuat atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono V.

Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat pada tanggal 5 Juni 1855 (20 Pasa 1783 TJ), dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Ketika beliau meninggal, permaisuri pertamanya GKR Kencono tidak berputera. Sementara itu, permaisuri kedua GKR Sekar Kedhaton yang sedang hamil belum menunjukkan tanda-tanda kelahiran. Maka dari itu tahta kerajaan kemudian dipegang oleh adik Sri Sultan Hamengkubuwono V, Raden Mas Mustojo, bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono V
Salah satu mahakarya yang lahir di era beliau adalah Serat Makutha Raja. Di dalamnya memuat tentang prinsip-prinsip dasar menjadi raja yang baik. Dari karya ini dapat dilihat visi ke depan Sultan Hamengku Buwono V yang sangat memihak kepada rakyat.

Serat Makutho Raja ini pula yang nantinya menjadi pedoman bagi raja-raja selanjutnya, dan juga menjadi rujukan bagi pemimpin-pemimpin di luar keraton. Serat Makutho Raja ini kurang lebih mengandung nasehat-nasehat dari Kitab Tajussalatin.

Kitab Tajussalatin diterjemahkan di era Sri Sultan Hamengku Buwono V. Kemudian lahir pula karya lain seperti Suluk Sujinah, Serat Syeh Tekawardi dan Serat Syeh Hidayatullah.

Sri Sultan Hamengku Buwono V juga menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap kegiatan-kegiatan seni, terutama seni tari. Beliau memimpin sendiri komunitas tari di istana. Bahkan, beberapa sumber juga mengatakan ia turut menjadi penari.

Disamping tarian, Sri Sultan Hamengku Buwono V memprakarsai Gendhing Gati yang memadukan alat musik diatonis seperti terompet, trombon, suling dan jenis drum atau tambur dengan karawitan Jawa. Gendhing Gati ini lazimnya digunakan dalam gerak Kapang-Kapang pada tari Bedaya atau Serimpi, yaitu komposisi ketika masuk atau keluar dari ruang tari.

Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V juga terdapat keunikan-keunikan lain dalam pelembagaan tari. Beliau membentuk kelompok penari Bedaya yang biasanya ditarikan oleh para penari wanita, digantikan oleh sekelompok penari laki-laki yang disebut kelompok Bedaya Kakung.

Karya seni tari lain yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V adalah Tari Serimpi Renggawati yang ditarikan oleh lima orang penari, yang salah satunya berperan sebagai Dewi Renggawati. Jalan cerita tari ini menggambarkan kisah Prabu Anglingdarma.

Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono V juga mengembangkan seni wayang orang. Pada masanya tak kurang dari lima judul lakon yang sering dipertunjukkan yakni Pragulamurti, Petruk Dadi Ratu, Angkawijaya Krama, Jaya Semedi dan Pregiwa-Pregiwati.


1855 - 1877
Sri Sultan Hamengku Buwono VI



Dilahirkan dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Mustojo pada tanggal 10 Agustus 1821, beliau adalah putera dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono. Pada tahun 1839 ketika sudah berganti nama menjadi Pangeran Adipati Mangkubumi beliau mendapat pangkat Letnan Kolonel dari pemerintah Hindia Belanda. Kelak pangkat beliau naik menjadi Kolonel pada tahun 1847.

Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat dalam kondisi tidak meninggalkan putera. Selang 13 hari kemudian, baru sang permaisuri -GKR Sekar Kedaton, melahirkan seorang putera yang diberi nama GRM. Timur Muhammad yang bergelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Suryaning Ngalaga ketika sudah dewasa. Mengatasi kondisi tersebut, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan Pangeran Adipati Mangkubumi sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VI yang dinobatkan pada tanggal 5 Juli 1855.

Menginjak usia 27 tahun, beliau menikah dengan GKR Kencono yang merupakan puteri dari Susuhunan Paku Buwono VIII dari Surakarta. Sebagai permaisuri Sultan Hamengku Buwono VI, Ratu Kencono bergelar GKR Hamengku Buwono. Pernikahan tersebut menjadi sejarah terjalinnya kembali hubungan baik di antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang sejak Perjanjian Giyanti sering terjadi ketegangan. Hubungan baik dengan kerajaan lain juga semakin terjalin setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI menikahi puteri dari Kerajaan Brunei.

Pola pemerintahan yang dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada dasarnya melanjutkan model yang dijalankan oleh kakaknya, perang pasif. Hal ini cukup berbeda dengan sikap beliau sebelum naik tahta, dimana beliau cukup keras menentang sikap sang kakak. Perubahan sikap ini kiranya yang menimbulkan kekecewaan dan akhirnya memunculkan gejolak di Kasultanan. Adalah kebetulan beliau didampingi oleh Patih Danurejo V yang terkenal pandai dalam hal siasat, sehingga banyak masalah pelik dapat terselesaikan.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, terjadi bencana alam yang memilukan. Gempa dengan kekuatan dahsyat menggoncang bumi Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 1867. Tercatat gempa mengakibatkan sekitar 500 korban jiwa. Selain itu, gempa juga memporak porandakan 327 bangunan termasuk bangunan keraton. Tugu Golog Giling (sekarang Tugu Jogja) yang tadinya menjulang 25 meter, rusak parah. Demikian juga bangunan Tamansari mengalami kerusakan hebat. Hal yang sama melanda Mesjid Gedhe dan Loji Kecil (sekarang istana kepresidenan Gedung Agung). Perbaikan atas kerusakan-kerusakan tersebut membutuhkan waktu lama. Bahkan, Tugu Golong Gilig baru selesai proses pembangunan ulangnya di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. International Handbook of Earthquake and Engineering Seismology mencatat gempa waktu itu memiliki kekuatan sebesar 6,8 SR.

Sedemikian traumatisnya peristiwa tersebut sehingga Sri Sultan Hamengku Buwono VI meminta agar peristiwa tersebut tidak usah diingat-ingat dan meyakinkan penduduk bahwa peristiwa seperti itu hanya akan terjadi sekali, tidak akan terulang lagi. Itulah mengapa catatan mengenai gempa ini hanya terserak dalam ingatan-ingatan, tidak ada catatan atasnya secara rinci di karya-karya pujangga keraton.

Pada tanggal 20 Juli 1877 (9 Rejeb 1806 TJ), ketika beliau menginjak usia 56 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VI tutup usia. Beliau dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Sebulan berikutnya, tepatnya tanggal 13 Agustus 1877, putra beliau Raden Mas Murtejo naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VI
Sri Sultan Hamengku Buwono VI meninggalkan dua buah karya seni tari, yaitu tari Bedhaya Babar Layar dan Srimpi Endra Wasesa.

Di masa beliau pula, dipesan kereta Kyai Wimono Putro yang nantinya menjadi kereta yang dipergunakan ketika diadakan upacara pelantikan putra mahkota menjadi sultan. Adapun kereta kebesaraan beliau sendiri, yang nantinya dipakai hingga sekarang, adalah Kyai Kanjeng Garudho Yakso.


1877 – 1921
Sri Sultan Hamengku Buwono VII



Gusti Raden Mas (GRM) Murtejo, demikian nama kecil beliau, lahir pada tanggal 4 Februari 1839 dari rahim Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sultan. GKR Sultan merupakan permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Permaisuri pertama, GKR Hamengku Buwono, yang merupakan puteri Paku Buwono VIII dari Surakarta tidak mempunyai anak laki-laki. Oleh karena itu, setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI wafat, GRM Murtejo menggantikan posisi ayahandanya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tanggal 13 Agustus 1877.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, perkembangan industrialisasi meningkat seiring era Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Hal ini bisa dilihat dari tumbuh dan berkembangnya pabrik gula waktu itu. Tak kurang terdapat 17 pabrik gula berdiri pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pabrik-pabrik tersebut terdiri dari pabrik milik Kasultanan, swasta maupun milik Belanda. Dari setiap pabrik, beliau menerima uang sebesar f 200.000 (f = florin, rupiah Belanda) dari Pemerintah Belanda.

Berlakunya era liberalisme semenjak 1870 juga memberi keuntungan bagi Sultan, yaitu dengan diperkenalkannya sistem Hak Sewa Tanah untuk masa sewa 70 tahun. Selain itu karena kebutuhan pengangkutan gula, dibangun pula sarana transportasi berupa jalur kereta api serta lori-lori pengangkut tebu. Pembangunan jalur kereta api ini diprakarsai oleh perusahaan swasta Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Ongkos sewa dari pemakaian jalur ini lagi-lagi masuk ke keuangan keraton. Maka tak heran jika kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga dikenal sebagai Sultan Sugih.

Era Hamengku Buwono VII merupakan masa transisi menuju modernisasi. Banyak sekolah didirikan. Beliau juga menyekolahkan anak-anak beliau sampai perguruan tinggi, bahkan hingga mengirim mereka ke Negeri Belanda.

Pada masa Hamengku Buwono VII, seni tari mulai keluar dari tembok keraton. Beliau mendukung putra-putranya untuk mendirikan sekolah tari gaya Yogyakarta, Krido Bekso Wiromo. Sekolah ini tidak hanya diperuntukkan bagi warga lingkungan keraton semata. Siapapun yang berminat belajar tari gaya Yogyakarta, dipersilakan untuk datang dan mendaftarkan diri di Dalem Tejokusuman. Bentuk dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII tidak berhenti di sini. Beliau juga mendorong tumbuh kembangnya pentas tari dan wayang, sehingga semenjak akhir 1918 pentas semacam itu semakin marak.

Pendidikan dan pola pikir terbuka yang ditanamkan kepada anak-anak Sri Sultan Hamengku Buwono VII, menghasilkan tidak hanya sekolah tari. Pada masa itu banyak berdiri organisasi-organisasi massa. Pangeran Suryodiningrat, putra beliau, memprakarsai berdirinya organisasi petani Pakempalan Kawulo Ngayogyakarta.

Muhammadiyah, salah satu organisasi besar saat ini, juga lahir dari lingkungan keraton pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII . Raden Ngabei Ngabdul Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah abdi dalem keraton golongan pengulon yang disekolahkan ke Arab Saudi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Organisasi yang menitikberatkan pada amal usaha dan pendidikan ini segera berkembang pesat keluar wilayah Kauman, tempat organisasi ini bermula.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII mempunyai visi jauh ke depan, dengan memberi ruang kepada aktivis-aktivis organisasi politik cikal bakal negara Indonesia. Bangunan Loji Mataram miliknya, terletak di Jl. Malioboro (kini gedung DPRD DIY), dipinjamkan kepada organisasi Budi Utomo untuk menyelenggarakan kongres pertama. Sikap terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga turut dirasakan oleh umat Islam pada masanya. Beliau mempersilahkan perayaan hari-hari besar keagamaan sesuai dengan kalender Hijriah, namun untuk upacara Garebeg tetap berdasarkan kalender Sultan Agungan.

Menjelang pertambahan usia beliau yang ke 81, Sri Sultan Hamengku Buwono VII merasa sudah saatnya turun tahta. Pada tahun 1920, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengemukakan niat tersebut kepada patih Danurejo VII dan kepada pemerintah Hindia Belanda. Beliau sendiri memilih madeg pandhita, dan mesanggrah di pesanggrahan Ambarukmo.

Keputusan tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari desakan pemerintah Belanda yang ingin menerapkan program reorganisasi agraria. Progam ini dirasa oleh Sultan Hamengku Buwono VII sebagai penyempitan ruang gerak beliau sebagai Sultan. Salah satu isi dari program tersebut adalah penghapusan sistem apanage yang mengembalikan semua tanah menjadi milik raja. Sepintas program itu seperti memberi kuasa mutlak kepada raja untuk memiliki kembali tanah-tanahnya. Akan tetapi, pasal lain dari program tersebut mengharuskan pengelolaan berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Hasil pengelolaan tanah-tanah tersebut harus disetor melalui lembaga bernama kas daerah (landschapkas), yang mana patih di bawah pengawasan residen menjadi penanggungjawabnya. Uang yang terkumpul tidak boleh dipergunakan langsung oleh keraton/sultan melainkan harus sepersetujuan residen. Di sini secara politis sultan seakan menjadi pegawai dari struktur pemerintahan Hindia Belanda.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII kemudian menunjuk penggantinya, GRM Sujadi, semata-mata demi terjadinya suksesi yang mulus dan kondisi pemerintahan yang stabil di bawah pengaruh Belanda yang terus mencengkeram.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VII
Selain pabrik gula, jalur kereta api dan bangunan bersejarah Pesanggrahan Ambarukmo, Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga banyak mempelopori karya di bidang seni. Tari Bedaya Sumreg , Srimpi Dhendhang Sumbawa, dan Bedaya Lala adalah contoh karya beliau. Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII pula, Tari Bedaya yang semula menggunakan kampuh beralih menjadi menggunakan mekak, namun riasannya tetap menggunakan paes ageng. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini pula, terdapat abdi dalem empu pembuat keris yang menghasilkan keris-keris bagus yang dikenal dengan keris tangguh kaping piton.

Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII Tugu Golong Gilig yang hancur akibat gempa pada tahun 1867 direnovasi. Proses renovasi ini melibatkan perancang Belanda bernama YPF van Brussel (pejabat perairan) di bawah pengawasan Patih Danurejo V. Setelah proses perombakan selesai, tugu yang menjadi ikon kota Yogyakarta hingga sekarang itu diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII wafat pada tanggal 30 Desember 1921 (29 Rabingulakir 1851). Beliau dimakamkan di Astana Saptorenggo, Pajimatan Imogiri.


1921 – 1939
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII



Pada tanggal 3 Maret 1880, lahirlah putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII dari rahim Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas yang diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Sujadi. Setelah dewasa GRM Sujadi bergelar Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo yang kelak dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Perjalanan GPH. Puruboyo sebagai penerus tahta Kasultanan Ngayogyakarta sesungguhnya melalui jalan yang panjang. Awalnya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII telah mengangkat putra sulung GKR Hemas, GRM Akhadiyat, sebagai putera mahkota. Akan tetapi, tidak lama setelah dinobatkan sebagai putera mahkota, GRM Akhadiyat sakit hingga meninggal dunia. Sri Sultan Hamengku Buwono VII kemudian mengangkat GRM Pratistha sebagai pengganti putera mahkota sebelumnya. Putera mahkota kedua yang juga bergelar Adipati Juminah ini di kemudian hari gelarnya dicabut karena alasan kesehatan. Posisi putera mahkota untuk yang ketiga kali kemudian jatuh kepada GRM Putro. Nasib baik tidak berpihak kepada GRM Putro yang juga meninggal dunia akibat sakit keras. Akhirnya, pilihan Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk didudukkan sebagai mahkota jatuh kepada GPH Puruboyo.

Tahun 1920 GPH. Puruboyo sedang menempuh studi di Belanda, ketika sang ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengungkapkan niat untuk lengser keprabon. Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta, mengusulkan kepada Gubernur Jendral van Limburg Stirum agar upaya pergantian tahta dipercepat.

Dikarenakan posisi GPH. Puruboyo masih di Belanda, maka van Limburg Stirum yang menyetujui gagasan tadi memerintahkan Jonquire agar mendesak Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk segera memanggil pulang GPH Puruboyo melalui telegram. Sri Sultan Hamengku Buwono VII menyetujui usulan tersebut dan mengirimkan telegram pada awal November 1920. Di dalam telegram itu Sri Sultan Hamengku Buwono VII menyampaikan agar Gusti Puruboyo jangan terlalu lama di Eropa karena para putera dan puteri, kerabat dan abdi dalem sudah menanti-nanti kepulangan beliau.

Setelah GPH Puruboyo setuju untuk pulang ke Yogyakarta dan dijadikan pengganti ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII memutuskan untuk lereh keprabon (turun tahta) dan beristirahat di Pesanggrahan Ambarukmo. Pada tanggal 8 Februari 1921, GPH Puruboyo kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Prinsip Raja
Kekayaan keraton yang cukup besar kala itu, dimanfaatkan sebanyak-banyaknya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII untuk mendorong dunia pendidikan. Seperti ayahandanya, beliau juga mengharuskan putra-putrinya untuk menempuh pendidikan formal setinggi mungkin, bahkan bila perlu hingga ke Negeri Belanda.

Sekolah-sekolah, organisasi dan munculnya aktivis banyak berkembang di masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII . Sekolah Taman Siswa Nasional (berdiri 3 Juli 1922), Organisasi Politik Katholik Jawi (1923) dan Kongres Perempuan (1929) adalah contoh-contohnya.

Perhatian beliau di dunia kesehatan juga sangat besar, misalnya dengan mendukung pengadaan ambulans untuk Rumah Sakit Onder de Bogen (saat ini: Panti Rapih).

Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga banyak mengadakan perombakan/rehabilitasi bangunan. Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, Gerbang Danapratapa dan Masjid Gede adalah beberapa bangunan yang beliau perbaiki.

Di dalam lingkungan keluarganya sendiri, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga banyak melakukan terobosan. Hal tersebut terjadi bahkan semenjak sebelum menjadi Sultan. Salah satunya adalah dengan “menitipkan” anak-anaknya di luar lingkungan keraton. BRM Dorodjatun, yang kelak menjabat sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dari umur 4 tahun sudah dititipkan ke keluarga Belanda. Tidak ada inang atau pengasuh yang menjaga. Pangeran kecil itu dituntut untuk hidup mandiri dan merasakan hidup sebagaimana kebanyakan masyarakat pada umumnya.

Langkah-langkah yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tersebut adalah cerminan dari sikap beliau yang berpedoman pada ungkapan “wong sing kalingan suka, ilang prayitane”, orang yang sudah merasakan nikmat akan hilang kewaspadaannya.

Pada tahun 1939, beliau memanggil putranya, BRM Dorodjatun yang sedang belajar di Negeri Belanda. Setelah keduanya bertemu di Batavia, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII kemudian menyerahkan pusaka keraton Kyai Joko Piturun kepada BRM Dorojatun. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa BRM Dorojatun telah ditunjuk menjadi penerus tahta sepeninggalnya.

Setibanya dari Batavia menjemput BRM Dorojatun tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII wafat pada tanggal 22 Oktober 1939 di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dimakamkan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Seperti sudah disinggung di atas, di masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII Yogyakarta mengalami kemajuan pesat di bidang pendidikan dan kesehatan. Dalam bidang arsitektur, bentuk fisik kraton saat ini adalah hasil perombakan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Di bidang seni tari, banyak sekali tarian diciptakan pada era kepemimpinan beliau. Diantaranya adalah Beksan Srimpi Layu-layu, Beksan Gathutkaca-Suteja, Bedaya Gandrung Manis, Bedaya Kuwung-Kuwung dan masih banyak lagi. Pada masa ini pula, pembakuan terhadap pakem tari klasik Gaya Yogyakarta dimulai.

Masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga dikenal sebagai masa keemasan pentas wayang wong. Pementasan wayang orang besar-besaran hingga memakan waktu tiga hari banyak dan sering dilakukan di era ini. Lebih dari 20 lakon dikembangkan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Dari segi busana untuk Tari Bedaya, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII melakukan perubahan besar. Karya Tari Bedaya yang lahir pada era ini tidak menggunakan kampuh dan paes ageng. Di masa ini penari menggunakan jamang dan bulu-bulu, baju tanpa lengan serta kain seredan.


1940 – 1988
Sri Sultan Hamengku Buwono IX



Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang beliau ketika kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.

Masa muda GRM. Dorojatun dihabiskan di luar lingkungan keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan beliau ke pasangan Belanda.  Semenjak berusia 4 (empat) tahun, beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder, seorang kepala sekolah NHJJS (Neutrale Hollands Javanesche Jongen School). 

Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidik GRM Dorojatun layaknya rakyat biasa. GRM Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa didampingi pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan bangsawan keraton. Di keluarga ini, beliau dipanggil  sebagai Henkie (henk kecil).

Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari Frobel School (taman kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang kemudian pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, beliau melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool di Semarang dan Bandung.

Jenjang pendidikan HBS belum tuntas ditempuh ketika ayahanda memutuskan mengirim beliau bersama beberapa saudaranya, ke Belanda. Setelah menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan di Rijkuniversitet di Leiden. Di sini beliau mendalami ilmu hukum tata negara, sambil aktif mengikuti klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini pula beliau berkenalan dan kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang kelak akan menjadi Ratu Belanda. 

Tahun 1939 peta politik dunia bergerak cepat. Tanda-tanda meletusnya Perang Dunia II semakin jelas. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memutuskan memanggil pulang GRM Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum menyelesaikan jenjang pendidikannya. Setibanya GRM Dorojatun di tanah air, beliau disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saat itu pula Sri Sultan menyerahkan kepada GRM Dorojatun Keris Kyai Joko Piturun. Kyai Joko Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang mengenakan bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Selang beberapa hari kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.

Perjalanan GRM Dorojatun menuju singgasana ternyata tidak mudah. Sebagai bagian dari sejarah Mataram, setiap calon raja baru di Kasultanan Yogyakarta diharuskan untuk menandatangani kesepakatan bersama terlebih dahulu dengan Belanda. Politisi senior Belanda, Dr. Lucien Adam yang berusia 60 tahun harus berdebat panjang dengan GRM Dorojatun yang saat itu usianya baru menginjak 28 tahun. Perdebatan berjalan alot utamanya disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:

GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih merangkap pegawai kolonial, hal ini agar tidak ada konflik kepentingan.
Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya ditentukan oleh Belanda
Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah langsung dari Belanda.
Dikisahkan,  setelah 4 bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun,  GRM Dorojatun tiba-tiba berubah sikap. Hal yang begitu mengherankan diplomat senior Belanda tersebut karena GRM Dorojatun bersedia menerima semua usulan Dr. Lucien Adams. Di kemudian hari, beliau berkisah bahwa keputusan itu berdasar bisikan yang menyuruh beliau menandatangani saja kesepakatan yang diajukan karena Belanda tidak lama lagi akan pergi dari bumi Mataram.

Pada tanggal 12 Maret 1940 di Tratag Prabayeksa, kontrak politik dengan Belanda, yang berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal, beliau tandatangani tanpa dibaca lagi. Kontrak tersebut berlaku semenjak GRM Dorojatun naik tahta.

Hari Senin Pon, 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan gelar  Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX. 

Di hari pelantikan tersebut beliau berpidato dan mengeluarkan kalimat yang dikenang oleh semua orang hingga saat ini, “Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.


Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Pangeran Dalam Republik
Ketika sebuah negara baru lahir di negeri ini, 17 Agustus 1945, dengan dikumandangkannya proklamasi oleh Soekarno dan Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera mengambil sikap. Dua hari setelah proklamasi, beliau mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator. Dua minggu setelahnya, tepatnya tanggal 5 September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Yogyakarta dengan demikian resmi memasuki abad modernnya, dimana dia bukan lagi sebuah entitas negara sendiri, tetapi bagian dari negara republik. Langkah beliau yang didukung sepenuhnya oleh rakyatnya ini, di kemudian hari dibuktikan dengan pengabdian yang total.

Ketika negara yang baru lahir ini menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial yang datang kembali,  beliau mengundang para tokoh bangsa untuk pindah ke Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa Yogyakarta siap menjadi ibukota negara Republik yang baru berdiri tersebut. 

Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap republik juga ditunjukkan melalui dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Hal ini meliputi gaji Presiden/ Wakil Presiden, staff, operasional TNI hingga biaya perjalan dan akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah dikeluarkan. Bagi beliau hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan beliau memberi amanat kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.

Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staff kabinet RI harus kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan pesan perpisahan dengan sangat berat hati. Ujarnya, “Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”. Demikianlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjalankan sabda pandita ratu-nya, sesuai telegram yang beliau kirim dua hari setelah proklamasi, bahwa beliau “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.

Sejarah mencatat bahwa perjuangan Indonesia menuju bentuknya saat ini  mengalami fase pasang surut. Di ujung berakhirnya era Orde Lama, ketika Soeharto mengambil alih kendali pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia kepada Indonesia sedang berada di titik terendah. Tak satupun pemimpin dunia yang mengenal Soeharto. Indonesia sebagai negara juga sedang dijauhi karena sikap anti-asing yang sangat kuat di era akhir Order Lama. Di saat seperti ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun menyingsingkan lengan bajunya, keliling dunia untuk meyakinkan para pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia masih ada, dan beliau tetap bagian dari negara itu. Dengan demikian kepercayaan internasional pelan-pelan dapat dipulihkan kembali. 

Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain menjadi pejuang pejuang kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) hingga Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949). Di masa kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) hingga masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan. Dan menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951).  Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan di tiap periode hingga pada tahun 1973 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua. Jabatan tersebut diemban sampai pada tanggal 23 Maret 1978, ketika beliau menyatakan mengundurkan diri. 

Selain berperan di bidang politik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Khusus mengenai kepanduan ini, beliau menyandang medali Bronze Wolf dari organisasi resmi World Scout Committee (WSC) sebagai pengakuan atas sumbangsih seorang individu kepada kepanduan dunia.

Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung ke Amerika, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di George Washington University Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri, diiringi oleh lautan massa yang ikut berduka. Pada saat itu, pohon beringin Kyai Wijayandaru di Alun-alun Utara, mendadak roboh, seakan pertanda duka yang mendalam.

Berdasar SK Presiden Repulik Indonesia  Nomor 053/TK/Tahun 1990, pada tanggal 30 Juli 1990, atas jasa-jasa beliau kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. 

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Selokan Mataram adalah salah satu karya paling monumental Sri Sultan Hamengku Buwono IX . Saluran air yang menghubungkan Sungai Progo dengan Kali Opak  yang membelah Yogyakarta dari barat ke timur ini memberi pengairan yang tak pernah berhenti bagi lahan-lahan pertanian di sekitarnya. Proyek selokan mataram ini berhasil menyelamatkan banyak penduduk Yogyakarta untuk tidak diikutsertakan dalam program kerja paksa Jepang, Romusha. Sebuah solusi brilian yang tidak hanya bisa menyelamatkan nyawa rakyatnya di kala itu, tetapi juga membuat manfaat yang terus bisa dinikmati hingga kini. 

Di bidang pendidikan,  Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendukung penuh berdirinya Universitas Gadjah Mada. Lembaga perguruan tinggi yang telah mencetak banyak  tokoh nasional maupun internasional ini awalnya menggunakan Pagelaran dan bangunan-bangunan lain di dalam dan sekitar keraton untuk dijadikan lokasi belajar mengajar. Sejalan dengan perkembangan universitas, sebidang tanah di Bulak Sumur disediakan oleh Sultan untuk dibangun gedung  utama, Balairung UGM, yang dirancang sendiri oleh Presiden Soekarno kala itu.

Seperti raja-raja Yogyakarta pendahulunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga mempunyai sumbangsih yang besar di bidang seni. Terinspirasi dari cerita wayang golek, beliau menciptakan tari klasik Golek Menak yang meneguhkan karekter khas gerak tari gaya Yogyakarta. Karya lain yang beliau hasilkan diantaranya adalah tari Bedhaya Sapta dan Bedhaya Sanghaskara (Manten).



Sri Sultan HB X


Lahir di Yogyakarta, 2 April 1946. Dengan Nama Kecil Bendara Raden Mas Herjuno Darpito,  Sri Sultan Hamengku Buwono IX (ayah) KRAy. Windyaningrum (ibu) - Naik Tahta 7 Maret 1989 – Gelar : Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Ka10, Suryaning Mataram, Senopati Ing Ngalogo, Langgenging Bawono Langgeng, Langgenging Tata Panotogomo

Penyebutan : Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 biasa juga disebut dengan istilah Ngarso Dalem, Sinuwun atau Sri Sultan

Istri Gusti Kangjeng Ratu (GKR) Hemas

Anak
1. GRAj Nurmalita Sari/GKR Pembayun/GKR Mangkubumi

2. GRAj Nurmagupita/GKR Condrokirono
3. GRAj Nurkamnari Dewi/GKR Maduretno
4. GRAj Nurabra Juwita/GKR Hayu
5. GRAj Nurastuti Wijareni/GKR Bendara

Terlahir dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Herjuno Darpito pada tanggal 2 April 1946 di Yogyakarta, kemudian menghabiskan sepanjang hidupnya di kota yang ia cintai, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka10 tumbuh menjadi pribadi yang sangat dekat dengan kota dan rakyatnya. Setelah dewasa beliau ditunjuk oleh ayahandanya sebagai Pangeran Lurah atau yang dituakan diantara semua pangeran di Keraton Yogyakarta. Mas Jun, begitu beliau biasa disapa pada saat muda, kemudian diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Mangkubumi.

Sebelum bertahta sebagai Sultan Yogyakarta, KGPH Mangkubumi sudah terbiasa dengan pelbagai urusan di pemerintahan. Beliau sering diminta membantu tugas-tugas ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Selain itu, KGPH Mangkubumi sendiri juga aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Beberapa jabatan yang pernah beliau emban diantaranya sebagai Ketua Umum Kadinda DIY, Ketua DPD Golkar DIY, Ketua KONI DIY dan Presiden Komisaris PG Madukismo.

Pada tanggal 2 Oktober 1988 Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat. KGPH Mangkubumi kemudian menjadi calon paling tepat untuk menjadi Sultan berikutnya. Proses suksesi ini menjadi hal yang baru dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Pada era sebelumnya, setiap Sultan yang akan dilantik harus mendapat persetujuan dari Belanda.

Sesaat sebelum dinobatkan, KGPH Mangkubumi mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram yang bermakna sebagai putera mahkota. Setelah itu, baru kemudian secara sah beliau dinobatkan sebagai Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 7 Maret 1989 atau Hari Selasa Wage, tanggal 29 Rajab 1921 berdasarkan penanggalan Tahun Jawa.